Ageisme

Oleh: Ilham Ardaya Putra

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata “Ageisme”, pada kesempatan kali ini, saya akan membahas apa itu “Ageisme ?”

Ageisme adalah diskriminasi terhadap orang lanjut usia yang Harus Dihentikan. Ageisme  atau  ageism  adalah bentuk stereotip atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan usianya. … Hal tersebut merupakan salah satu bentuk ageism atau ageisme.

Mirip dengan rasisme atau seksisme, ageisme dapat di definisikan sebagai prasangka dan diskriminasi terhadap individu semata mata berdasarkan umurnya. Diskriminasi ini terjadi terutama dengan sangat sedikitnya penggambaran lansia di media, ketika muncul pun sering bermasalah, lansia sering di gambarkan sebagai sosok yang kolot, lemah dan membosankan, hidup lansia sering di anggap sudah selesai dan tinggal menunggu ajal.

Ketika lansia menantang stereotip ini, media menggambarkannya sebagai sesuatu yang sensasional, aneh atau bahkan menyedihkan.

Jika Anda pernah ataupun sering menonton tayangan hitam putih, Anda pasti ingat dengan episode ketika tayangan hitam putih mengundang sastrawan senior yang bernama “Soesilo Ananta Toer”. Perbincangannya hanya seputar aspek sensasional, bahwa Soesilo adalah doktor yang bekerja sebagai pemulung.

  Di episode itu, pembawa acara yang bernama Deddy Corbuzier mengatakan : “Saya mau bahas tentang seorang doktor, ini lagi viral kemarin terkenal, karena jadi pemulung di jalanan”

    Tayangan itu membuat kita merasa bahwa lansia yang sehat dan ceria adalah orang tua langka yang tidak sesuai dengan norma. Bahwa lansia yang masih memiliki aspirasi hidup adalah lansia yang aneh, Anda pasti merasa tidak ada yang bermasalah di sini. Secara kultural, stereotip ini memang sangat lekat dengan konsep “Memuliakan Orang Tua” bahwa dulu mereka pernah berjasa dalam membesarkan kita dan kini sudah lemah, sehingga harus kita rawat.

           Pada orang yang lebih muda pun kita dibiasakan untuk memandang mereka secara naif, kurang ilmu serta harus dibimbing. Cara pandang ini memang punya manfaatnya dalam pendidikan anak atau penghormatan atas lansia, tapi juga memiliki bias produktivitas.

     Dalam ekonomi politik, kita membagi demografi penduduk berdasarkan usia, penduduk berusia 15 sampai 64 tahun disebut sebagai usia produktif. Penduduk produktif prima, biasanya berkisar antara 25 sampai 55 tahun, dan di luar itu di lihat sebagai kurang produktif. Sementara itu, penduduk anak sering kali di jelaskan sebagai angka ketergantungan, bahwa secara ekonomi itu tidak produktif dan bergantung pada anggota keluarga atau negara. Pembagian ini memang penting dalam pembangunan ekonomi makro, bahwa penduduk muda perlu di siapkan agar menjadi produktif, dan kontribusi ekonomi penduduk lansia di anggap sudah cukup dan diperbolehkan beristirahat.

    Namun produktivitas ekonomi bukan satu satunya hal penting bagi manusia, kehidupan manusia sudah berlangsung sebelum usia produktif, dan terus berjalan setelah pensiun. Penduduk muda dan lansia juga memiliki kebutuhan untuk mengembangkan dan merealisasikan diri, yang berbeda dari penduduk “produktif”

  Namun bias produktivitas media mengesampingkan kebutuhan ini, dan bahkan memandang rendah anak dan lansia karena dianggap tidak memenuhi “Standar Produktif”, cara pandang ini bisa berujung pada tindakan tidak adil dan diskriminatif.

   Istilah ageisme sendiri di perkenalkan oleh Robert Neil Butler dalam sebuah wawancara tentang proyek perumahan bagi lansia, proyek tersebut bertujuan untuk menempatkan lansia dalam satu lingkungan khusus dan menjauhkannya dari publik. Butler menegaskan bahwa proyek ini di dasari oleh prasangka yang salah tentang lansia. Pihak pengembang terlihat tidak ingin ada lansia beserta segala urusannya yang “merepotkan” itu berada di jalanan publik.

   Sebagaimana Filsuf Seneca, kita melihat usia tua itu sebagai penyakit. Padahal, kita semua pernah dan akan menjadi tidak produktif secara ekonomi, dan itu bukan berarti bahwa kita tidak produktif sama sekali, bukan berarti hidup kita selesai.