IHWAL PENGGUGAH

PEDAGANG BAKSO VS DIREKTUR OLEH KANG SIDIK

Apabila anda berkunjung ke kota-kota besar, selain bertemu dengan banyak kendaraan, perkantoran, orang-orang sibuk, juga anda akan bertemu dengan para insan yang sedang mengais rezeki . Di sebuah kota bernama kota Entah Apa, kita akan bertemu dengan para pedagang. Mereka adalah tukang ojek, pedagang bubur ayam, mie ayam, kupat tahu, gorengan dan pedagang bakso salah satunya bernama Mas Ningopo dari kota Sono yang hobi lalajo dangdut lagu Ucing Garong dan Kabogoh Jauh dari Darso. Mas Ningopo merupakan jelmaan sosok yang nyaris tidak suka kukulutus walaupun para pembeli rewel atau menyodorkan uang di bawah harga yang telah ditentukan. Lebih dari itu seorang Ningopo sering kelihatan nga gak gak seuseurian  pada saat naragog ngobrol dengan para pelanggan. Keakraban sering terjadi dari cakakak cikikik  Ningopo dengan para pembeli bakso. Di antara orang dekat Ningopo dari kalangan pelanggan adalah Pulan yang sering dipanggil juragan oleh Ningopo. Pak Pulan memang seorang Direktur sebuah PT, dia senang memberi tausiyah saat ngawadul dan berekspresi gede rahul.

            “Sekarang mah sagala marahal ya Mas? Disaat rakyat sedang membutuhkan kasih sayang, harga-harga malah melambung tinggi. Ini sebenarnya sudah bertolak belakang dengan konsekwensi logis harapan rakyat.”

            “Oh iya juragan.” Jawab Ningopo sambil mengerutkan dahi memikirkan dua kata dari Pulan yang tidak bisa diterjemahkan oleh akal, makhluk apa konsekwensi logis?

            “Mas walau sagala mahal, anak-anak Mas Ningopo jangan sampai putus harapan, jangan putus sekolah, keun wae ari putus kolor atawa putus cinta mah gampang neangan deui ha ha ha”

            “Muhun juragan leres leres pisan.”  Sambil molongo Ningopo menjawab bahasa Sunda dengan logat ngapak.

            “Contohnya sayah Mas, sayah mah sakola Alhamdulillah nepi ka doktorandus. Atuh ayeuna geus jadi direktur nu gajihna lumayan. Bahkan istri sayah mah  Mas, mun sakalieun balanja, jutaan. Padahal Cuma beli sabun, odol, sereal, ayam. Kadang beli kameja merk Cardinal.  Biasa loba beli produk impor istri sayah mah.  Mun aya rezeki Mas, sayah mah ek beli mobil baru ratusan juta.” Ningopo ukur molongo. “Yeuh Mas, sayah mah teu susah-susah nyari duit mah, gampang, tinggal nyuruh bawahan masarkeun produk oge jadi Mas. Naha kitu, sabab sayah mah direktur yang profesional bukan amatir. Sayah mah hidup senang, imah pageuh, duit weuteuh, tempat kerja baseuh, pamajikan …………… ha…ha…ha… Kali ini ucapan Pulan diakhiri oleh tertawa lepas memamerkan sepasang rahang yang lebar hingga kabuhulan, orolo  muntah bakso keluar dari mulutnya mengena wajah Ningopo. “Walah gede teuing bakso teh Mas, jaba rada bau deui, belegug Mas mah nyieun bakso teh.  kuring kabuhulan yeuh.”

            Ningopo melihat kejadian itu molongo. Lamunannya tentang kata baru dari Pulan yakni kata profesional bukan amatir, terganggu bahkan berubah layaknya satria baja hitam atau power ranger yang siap menggempur musuh. Ejekan Pulan terasa menyayat hati, apalagi melihat  Pulan muntah bakso di mukanya dan mengucapkan kalimat : walah gede teuing bakso teh mas jaba rada bau. belegug Mas mah nyieun bakso teh. Kalimat itu mengundang nasionalisme kota Sono dari hati yang paling dalam.

            “Jurigan eh juragan, sampean mbo ya sopan sedikit.”

Melihat Ningopo membuka mata agak lebar, dan nada bicaranya tinggi,  Pulan mulai rada nga deg deg hate tagiwur.

            “Memang saya hanya sekedar tukang bakso, lulusan sekolah rendahan ESDE, tapi saya juga punya hati nurani. Saya tidak senang pada orang sombong dan melecehkan orang kecil seperti saya. Walau saya tukang bakso, saya bayar pajak, saya sering memberi sumbangan ke Masjid, dan ngasih pada orang-orang miskin dan yatim piatu. Lebih dari itu, saya ini cinta produk Indonesia dibandingkan sampean. Saya lebih senang beli barang-barang produk kita sendiri. Yang namanya Mc Donal, KFC, Cardinal, itu kan produknya luar negeri. Sebagai warga Indonesia, kita harus mencintai produk kita sendiri.”

Pulan merasa aneh melihat Ningopo balik menasihatinya. Dia merasa Ningopo bukan Ningopo biasanya. Pikir Pulan, jangan-jangan Ningopo kesurupan.

“Juragan nih mendingan saya lah, coba lihat penghasilan saya tiap hari?”

Ningopo menghitung laba bersih dari berjualan bakso yang memiliki cabang sebanyak 12 cabang Bakso yakni Per hari Rp. 6.000.000,-  Jadi kalau di rata-ratakan sebesar itu, maka dalam sebulan pendapatannya Rp. 180.000.000,- pendapatan yang jauh lebih besar dari seorang Pulan direktur sebuah perusahaan.  Pulan hanya bengong.