Dari Pemimpi Menjadi Pemimpi(n)

(Sebuah catatan ringan dari Novel The Manager)

Awal Perkenalan

Hari itu, sepulang beraktivitas di sekolah, saya menemukan sebuah buku yang tergeletak di meja di tengah rumah. Saya tanya orang rumah, buku dari mana? Buku itu pemberian dari salah seorang yang tadi ditemui di acara reuni sekolahan, kebetulan bapak diundang menghadiri acara tersebut. Begitu jawabnya. Saya pun penasaran dan lanjut mengambilnya.

The MANAGER. Tercetak jelas sebagai judul dari buku tersebut dengan tambahan keterangan sebagai buku yang bergenre NOVEL BISNIS. Di bawahnya disisipkan pesan (berdasarkan kisah nyata). Pesan yang sepertinya sengaja ditujukan kepada pembaca, agar mereka, sedari awal, memahami bahwa novel ini tidak berpijak sepenuhnya  pada imajinasi belaka.

Novel ini ditulis oleh Armala & Mia Chug dan diterbitkan oleh Human Plus Institute. Pertama kali diterbitkan pada Januari 2021 dan di tahun 2022 telah mengalami cetakan yang ketiga. Kebetulan, novel yang saya pegang adalah cetakan pertama yang ditandangani langsung oleh penulisnya, Armala. Beliau adalah salah seorang alumni angkatan 1985 dari sekolah tempat saya mengabdi sebagai pendidik, yaitu SMPN 1 Kuningan.

Dengan embel-embel novel bisnis yang berdasarkan kisah nyata, akhirnya saya memutuskan untuk membacanya. Saya merasa penasaran karena ini merupakan novel bisnis pertama yang saya baca. Sebelumnya saya biasa membaca novel-novel sejarah, idiologi, romantisme, persekongkolan, dan lain-lain. Sebagian besar novel yang saya baca berisikan dunia imajinasi yang sesekali diselipkan sebagian kecil kenyataan.

 

The Manager

Cerita diawali dengan perkenalan seorang tokoh utama novel ini, yaitu Sakala. Seorang pemuda yang dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat. Sejak kecil ia sudah bermimpi untuk menjadi insinyur. Cita-citanya itu terinspirasi dari salah satu tokoh bangsa, yaitu Ir. Soekarno. Dari sanalah ia mulai menetapkan hatinya untuk menjadi insinyur. Memasuki dunia perkuliahan, mimpi-mimpinya mulai ditambahkan ke dalam daftar sasaran/tujuan (goal) masa depannya yang ia tulis di atas sehelai kertas. “Tahun 1993  = Insinyur. Tahun 1998 = Manajer. Tahun 2003= Direktur.”

Tidak hanya itu, Sakala menambahkan satu mimpinya yang luar biasa sulit, yaitu menjadi manajer kelas dunia. Mimpi yang tentu saja sangat tipis untuk menjadi kenyataan. Ya, sebagian besar orang disekitarnya bicara demikian. Jangankan menjadi manajer kelas dunia, mendapat gelar insinyur saja sangat sulit diperoleh. Dibutuhkan waktu 6-8 tahun untuk meraihnya. Cerita tersebut Sakala dapatkan dari kakak kelasnya ketika ia baru saja masuk di Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Indonesia.

Namun ia tidak mau mengikuti jejak mereka, ia tidak mau kuliah selama itu. Tekadnya sangat kuat untuk sesegera mungkin meraih mimpi pertamanya. Ia sangat  tekun dalam belajar. Ia juga sangat soleh dalam beribadah. Dan benar saja, dengan usaha dan do’a yang tiada henti, Sakala mampu menyelesaikan studinya hanya dalam waktu 4 tahun, sebuah pencapaian yang luar biasa bagi mahasiswa yang kuliah di jurusan teknik.

Perjalanan cerita berlanjut dengan usaha Sakala mewujudkan mimpi-mimpinya. Dimulai dengan mengirimkan puluhan surat lamaran ke berbagai perusahaan hingga mendapatkan pekerjaan pertama setelah lulus kuliah (salah satu momen yang paling ditunggu oleh para sarjana baru). Di perusahaan pertamanya ia tidak menemukan mimpi yang diidamkan, menjadi manajer. Ia merasa berada di jalur yang salah. Tidak menunggu waktu, Sakala kemudian memutuskan untuk keluar dari perusahaan tersebut dan bergabung di salah satu perusahaan multinasional pembuat boneka terkenal yang berasal dari USA sebagai Production Supervisor. Selama bekerja, Sakala sangat berdedikasi, bahkan ia sampai meminta tambahan pekerjaan di luar tupoksinya sebagai production supervisor. Semua itu ia lakukan demi kemajuan perusahaan. Namun, niat baik belum tentu menghasilkan hal baik. Sakala malah didepak dari perusahaan tersebut dengan alasan yang tidak diungkapkan dengan jelas.   Dari perusahaan ini Sakala menemukan istilah Politik Kantor.

Lepas dari perusahaan boneka terkenal, Sakala malah mendapatkan tawaran pekerjaan yang bertubi-tubi dari berbagai perusahaan, baik dari perusahaan yang berkinerja buruk maupun dari perusahaan yang berkinerja sangat baik. Anehnya, Sakala malah memilih perusahaan yang sedang karut marut, sengkarut dan tidak terurus. Ia mengabaikan tawaran pekerjaan dari perusahaan besar dengan jaminan penghasilan dan fasilitas yang menggiurkan. Ternyata pilihannya sangat tepat. Di perusahaan inilah kemampuan Sakala berkembang pesat, ia mendapatkan ilmu yang luar biasa dalam bidang manajerial.

Berkat kinerjanya, mengubah perusahaan yang karut marut menjadi perusahaan berkinerja baik, hanya dalam kurun waktu 3 bulan Ia diangkat menjadi factory manager. Dari prestasinya tersebut, Sakala menjadi incaran para Head Hunter, konsultan penyedia manajer profesional yang pada akhirnya mengantarkan Sakala mencapai mimpi berikutnya, yaitu menjadi manajer sebuah perusahaan kelas dunia bernama PT Japan Yamanashi Indonesia.

Di akhir cerita, Sakala masih ingin meraih mimpi terakhirnya, yaitu menjadi Direktur Perusahaan. Sebuah perjalanan yang mungkin akan tercapai mengingat usianya yang masih sangat muda, yaitu 30 tahun.

Akhir Perkenalan

Ketika anda memutuskan akan membaca novel ini, jangan harap anda akan menemukan permainan gaya bahasa khas karya sastra. Penulis sepertinya tidak ingin membuai pembaca dengan kata-kata yang berapi-api dengan dibumbui beragam pilihan diksi yang rumit dalam memahaminya. Ia (penulis) cenderung ingin berbicara secara lugas dengan memilih deskripsi peristiwa yang mudah dipahami oleh pembaca. Dan sepertinya langkah tersebut telah berhasil. Saya sendiri merasakan itu saat membacanya. Saya tidak perlu memikirkan makna kata atau kalimat secara mendalam, karena dengan sekali membacanya makna itu sudah berhasil dicerna.

Selain itu, novel ini tidak menyajikan konflik antar tokohnya secara dramatis. Pembaca tidak akan merasakan haru biru perselisihan antar tokoh hingga mencapai klimak dan anti klimaknya. Dengan kata lain, penulis hanya menampilkan konflik di bagian permukaannya saja. Untungnya, kita masih bisa merasakan romantisme percintaan di dalam novel ini. Walaupun tidak digambarkan secara detail, saya dapat merasakan dalamnya cinta antara Sakala dan Lestari. Melalui percakapan-percakapannya, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa romantisme itu tidak selalu harus diungkapkan dengan kata-kata manis yang membuai. Cukup dengan gerak tubuh dan kedipan mata, kita bisa merasakan cinta mendalam di antara mereka.

Menurut hemat saya, pemenuhan unsur karya sastra bukanlah tujuan utama dari novel ini. Penulis sepertinya ingin fokus pada pencapaian makna atas peristiwa-peristiwa yang ia sajikan. Ia ingin pembaca dapat mengambil pelajaran bermakna dari rangkaian kalimat yang disusunnya. Dengan kata lain, novel ini lebih semacam buku panduan bagi para pembaca dalam mempersiapkan masa depannya, terutama bagi mereka yang berkeinginan untuk sukses sebagai seorang manajer.

Dari buku ini, anda akan mendapat banyak pengalaman tentang bagaimana membangun karir from zero to hero. Melalui tokoh Sakala, anda akan menemukan pelajaran tentang bagaimana anda dapat menghadapi situasi  ketika anda dinyatakan tidak lulus masa percobaan sebagai seorang pegawai pabrik yang kemudian bangkit lagi dan terus berusaha menggapai impian walaupun kadang anda akan bertemu dengan Politik Kantor dari orang-orang di sekitar anda, dipecat oleh perusahaan padahal dia berkinerja baik. Hingga pada suatu waktu anda akan dihadapkan pada pilihan sulit, lebih memilih perusahaan yang sedang karut marut dan mampu mengubahnya menjadi perusahaan berkinerja baik. Walaupun dalam perjalanannya Sakala banyak sekali mendapat tekanan, dihadapkan dengan reaksi para seniornya yang merasa terlangkahi, didemo oleh seluruh karyawan pabrik hanya karena kebijakan yang diambilnya mengganggu kenyamanan mereka, sampai harus dikawal oleh pihak keamanan karena mendapat ancaman dari para preman suruhan, Sakala tetap teguh dengan pendiriannya. Ia yakin bahwa langkah yang diambilnya adalah untuk kemajuan perusahaan, langkah yang diambilnya bukan atas intuisi saja tetapi berdasarkan data dan informasi yang valid. Langkah-langkah perubahan ia tempuh dengan penuh keseriusan, fokus, dan selalu berdasar pada ilmu pengetahuan.

Selain pelajaran di bidang manajemen, banyak pelajaran lain yang bisa kita ambil dari novel ini. Bahwa setiap orang itu harus punya mimpi dan mimpi itu harus di-nyata-kan dengan usaha dan do’a yang sungguh-sungguh, merupakan sikap mental yang patut kita tiru dari sosok Sakala. Bagaimana ia bisa mematahkan mitos bahwa kuliah di jurusan teknik itu membutuhkan waktu yang lama. Kemudian, bagaimana ia dapat membuktikan cemoohan-cemoohan orang terhadapnya dengan memberikan prestasi gemilang hingga ia dapat meraih semua mimpi yang ia inginkan. Pelajaran-pelajaran itulah yang mungkin ingin penulis sampaikan kepada pembaca lewat novel ini. Namun, hal paling berkesan bagi saya adalah prinsip hidup Sakala yang selalu memulai aktivitas keseharian dengan berdo’a dan meminta restu orang tua. Setiap kali ia menemukan kesulitan dalam pekerjaannya, ia selalu berkomunikasi dengan Allah Swt. melalui sholat. Tak lupa ia juga selalu meminta restu kepada orang tuanya.

“Impian memang tidak menjamin seseorang meraih sukses, tetapi setiap orang sukses selalu memiliki impian.”  Dengan prinsip hidupnya itu, Sakala berhasil membuktikan bahwa seorang pemimpi bisa menjadi seorang pemimpin.

Namun, hingga selesai membacanya, saya sangat penasaran, siapakah sosok Sakala itu? Apakah dia adalah perwujudan Armala sebagai penulisnya? Atau, adakah tokoh lain yang diceritakan oleh Armala? Entahlah, dunia sastra selalu terbuka untuk diinterpretasi. Namun, jika benar Sakala adalah Armala, maka saya sangat kecewa karena saat itu hanya bisa memandangnya dan malah tidak meminta foto berdua bersamanya.

 

*) Ade Suarsa